OTONOMI DAERAH DAN KEMANDIRIAN MASYARAKAT
Pembangunan di tingkat desa selama ini terasa masih terkooptasi oleh kepentingan pemerintah. Pembangunan desa disandarkan pada kepentingan pemerintah untuk membangun desa bukan atas kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa untuk membantu dirinya sendiri. Meskipun dalam prosesnya terutama untuk progam pemberdayaan masyarakat desa ‘seakan-akan’ sudah melibatkan masyarakat dalam eksplorasi permasalahan dan kebutuhan masyarakat desa. Jika kita kaji lebih jauh mengenai rumusan desa disetiap perubahan UU dari UU No. 22/1999 yang direvisi dengan keluarnya UU No. 32/2004 dan direvisi kembali dengan keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2008, tampaknya pemerintah dan dewan masih menemukan kesulitan untuk menetapkan arah apa saja yang menjadi kewenangan desa. Dalam UU 22/1999 masih adanya kekaburan posisi desa karena mencampuradukkan antara selfgovernance community (otonomi asli) dan local-self government (desentralisasi) tanpa batas-batas perbedaan yang jelas, setelah direvisi dalam UU No. 32/2004 hal tersebut barulah agak lebih jelas posisinya. Namun pada intinya batasan tersebut tentang desa atau apapun istilahnya merupakan satuan khusus yang memiliki kewenangan untuk mengurus kepentingannya sendiri.
Dengan diterapkannya Otonomi daerah diharapka agar masyarakat dapat memiliki kemampuan dan kemandirian untuk mengatur dirinya sendiri, seperti memilih pemimpin, merencanakan pembangunan dan menggalang segenap potensi yang ada bagi peningkatan kemandirian desa. Perwujudan otonomi ‘mandiri’ masyarakat desa dapat dipandang sebagai proses peningkatan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi menuju kehidupan masyarakat desa yang diatur dan digerakkan oleh masyarakat, dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat. Dengan otonomi desa maka diharapkan mampu menciptakan sinergi antara governance desa untuk mengatur desa. Interaksi yang seimbang di antara ketiganya diharapkan menghantarkan kehidupan desa pada kondisi saling kontrol dan bekerjasama satu sama lainnya, mewujudkan keunikan di antara desa satu dengan desa lainnya karena sumber pengaturan berasal dari internal desa yang diakui sebagai satu kesatuan yang unik. Pada akhirnya diharapkan mampu mewujudkan keanekaragaman desa sesuai karakteristik governance di desa tersebut. Disamping itu, diharapkan mampu mengurangi ketergantungan desa pada supra desa karena kapital internalnya berkembang sementara kapital eksternal bersifat pelengkap saja.
Upaya pemberdayaan governance desa memerlukan strategi dan arah program yang tepat. Mengacu pada Friedman dalam Zudan (2004: 83), pemberdayaan dibedakan atas pemberdayaan politik, sosial dan psikologis. Pemberdayaan politik diarahkan agar intervensi birokrat diaras desa menjadi minimal dan membangkitkan animo governance desa untuk melakukan pengaturan sendiri (self regulation). Pemberdayaan sosial diarahkan pada upaya-upaya membangun organisasi modern di desa dilakukan dengan cara merubah modus orientasi organisasi standar dan sukarela seperti perkumpulan arisan, kelompok olah raga, remaja masjid, kelompok remaja dan kepemudaan, dan organisasi masyarakat lainnya yang ada di desa yang semula bersifat tradisional dan subsisten menjadi organisasi modern. Perubahan tersebut diawali dengan meninjau kembali tujuan organisasi, membangun sistem akumulasi kapital internal, membangun sistem distribusi kapital eksternal yang merata. Pemberdayaan psikologis dilakukan dengan cara meningkatkan kapital sosial, reinternalisasi nilai-nilai terutama anarkisme dan alturisme. Pembaerdayaan politik, sosial dan psikologis diarahkan agar terjadinya keseimbangan interaksi diantara ketiga elemen governance desa.
Keseimbangan interaksi tiap elemen governance desa menjadi sangat penting agar ketiga komponen tersebut mampu melakukan pengaturan sendiri (self-organizing), menjelaskan bahwa nilai-nilai dan norma merupakan sosial kapital. Disamping ketiga jenis pemberdayaan seperti dikemukakan Friedman, salah satu yang sangat penting dan terlupakan adalah pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan desa dengan menjalin kerjasama dengan usaha-usaha masyarakat. Peluang untuk ini tersedia dengan pengakuan UU No 32 tahun 2004 tentang keberadaan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Badan usaha ini hendaknya dijadikan wahana pengakumulasi kapital ekonomi internal dan juga sebagai saluran utama bagi masuknya kapital ekonomi eksternal. Selama ini program instansi terkait diaras desa dilakukan melalui organisasi standar perpanjangan tangan mereka di desa. Hendaknya program instansi berkaitan dengan upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat dilakukan melalui Bumdes.
Otonomi mandiri masyarakat desa sebagai sebuah alternatif atas kebuntuan aliran pemikiran otonomi asli desa yang dimaknai sebagai otonomi adat dan otonomi yang diberikan. Guna mewujudkan otonomi mandiri masyarakat desa, paling tidak ada 2 (dua) hal yang dibutuhkan yaitu: pertama, bagaimana mengurangi campur tangan birokrat atas desa; dan kedua, bagaimana memberdayakan governance desa. Pemberdayaan governance desa dimulai dengan memperjelas kewenangan desa. Pemerintah kabupaten memfasilitasi governance desa untuk merumuskan kewenangan desa. Berdasarkan rumusan kewenangan tersebut, maka governance desa membangun organisasi sebagai pelaksana kewenangan tersebut. Untuk mencapai hal ini, maka dalam UU No. 32 tahun 2004 mencoba mengarahkan agar pemerintah kabupaten menetapkan Perdes yang mengembalikan kewenangan yang pernah dimiliki oleh desa dan mengatur perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa. Selanjutnya, pengaturan lebih lanjut tentang desa ditetapkan dalam Perdes.
Dengan rumusan tersebut, maka kabupaten tidaklah leluasa mengintervensi desa dan sebaliknya governance desa diberi ruang untuk mengatur dirinya sendiri. Hanya saja keleluasaan demikian mungkin saja tidak dapat dimanfaatkan oleh governance desa untuk mengatur dirinya. Untuk itu, UU No. 32 tahun 2004 sebagai hasil revisi UU No. 22 tahun 1999 menegaskan bahwa peran pemerintah kabupten cukup sebagai fasilitator guna meningkatkan keberdayaan governance desa dalam bentuk bimbingan fasilitasi dan pemberian panduan bukan pengaturan, sehingga arah UU No. 32 tahun 2004 diharapkan disamping dapat memperkuat penyelenggaraan otonomi daerah, namun juga mempertegas bahwa desa sebagai subsistem otonom dibangun dalam koridor otonomi daerah juga bukan otonomi politik. Apabila tidak, maka esensi UU No. 32 tahun 2004 akan lebih menarik lagi kewenangan yang telah diberikan atau resentralisasi.
* Dikutip dari berbagai sumber.
Seja o primeiro a comentar
Posting Komentar